Jika Nabi Muhammad Datang Ke Rumahmu
Jika
Nabi Muhammad datang ke rumahmu
Untuk
meluangkan waktu sehari dua hari bersamamu
Tanpa kabar apa-apa sebelumnya,
Apakah yang akan kau lakukan untuknya?
Akankah kau sembunyikan buku duniamu?
Lalu kau keluarkan dengan cepat kitab hadits di rak buku?
Atau akankah kau sembunyikan majalah-majalahmu
Dan kau hiasi mejamu dengan Quran yang telah berdebu?
Akankah kau masih melihat film X di TV
Tanpa kabar apa-apa sebelumnya,
Apakah yang akan kau lakukan untuknya?
Akankah kau sembunyikan buku duniamu?
Lalu kau keluarkan dengan cepat kitab hadits di rak buku?
Atau akankah kau sembunyikan majalah-majalahmu
Dan kau hiasi mejamu dengan Quran yang telah berdebu?
Akankah kau masih melihat film X di TV
Atau
dengan cepat kau matikan sebelum dilihat Nabi?
Maukah kau mengajak Nabi berkunjung ke tempat yang biasa kau datangi?
Ataukah dengan cepat rencanamu kau ganti
Akankah kau bahagia jika Nabi memperpanjang kunjungannya?
Atau kau malah tersiksa karena banyak yang harus kau sembunyikan darinya
Jika Nabi Muhammad tiba-tiba ingin menyaksikan,
Akankah kau tetap mengerjakan pekerjaan yang sehari-hari biasa kaulakukan?
Akankah kau berkata-kata seperti apa yang sehari-hari biasa kau katakan?
Akankah kau jalankan sewajarnya hidupmu
Seperti halnya jika Nabi tidak ke rumahmu?
Maukah kau mengajak Nabi berkunjung ke tempat yang biasa kau datangi?
Ataukah dengan cepat rencanamu kau ganti
Akankah kau bahagia jika Nabi memperpanjang kunjungannya?
Atau kau malah tersiksa karena banyak yang harus kau sembunyikan darinya
Jika Nabi Muhammad tiba-tiba ingin menyaksikan,
Akankah kau tetap mengerjakan pekerjaan yang sehari-hari biasa kaulakukan?
Akankah kau berkata-kata seperti apa yang sehari-hari biasa kau katakan?
Akankah kau jalankan sewajarnya hidupmu
Seperti halnya jika Nabi tidak ke rumahmu?
Sangatlah
menarik untuk tahu
Apa yang akan kau lakukan
Apa yang akan kau lakukan
Jika Nabi Muhammad Datang,
Mengetuk Pintu Rumahmu
“Sesungguhnya
ibadah di waktu malam akan sangat membekas dan akan lebih teguh ucapannya”
Surat Al Muzzammil ayat 6.
Sahabat MQ, bagi sebagian besar orang malam merupakan waktu untuk tidur dan beristirahat. Mereka telah menarik diri dari pergaulan sosial dan pekerjaannya, lantas masuk ke dalam lapis kehidupan pribadinya yang sedikit banyak bersifat rahasia bagi orang lain. Jika seseorang tidak beristirahat di waktu malam, menandakan demikian pentingnya sesuatu itu atau besarnya tekad yang dipunyai Artinya apapun yang dilakukan seseorang di malam hari akan menegaskan urgensinya ataupun menegaskan “warna dasar” kepribadian orang tersebut, baik warna yang jahat maupun warna baiknya. Sebaliknya seseorang tanpa aktivitas signifikan di malam hari akan hanya biasa-biasa saja alias kehidupannya nyaris tanpa renungan mendalam tanpa sikap yang prinsipil tanpa tekad kuat dan tanpa penegasan warna kepribadiannya.
Sahabat MQ, Al-Qur’an surat Al Muzzammil ayat 6 secara tegas menerangkan kelebihan waktu malam dibandingkan waktu yang lain. Secara kuantitatif, Al-Qur’an memberikan perhatian lebih dengan pemakaian kata al-lail atau malam hari beserta kata turunannya sebanyak 92 kali. Bisa dibandingkan pemakaian kata an-nahar atau siang sebanyak 57 kali pemakaian, kata as-subh berarti subuh sebanyak 45 kali, kata al-fajr yang berarti 24 kali, kata ad-dhuha berarti matahari sepenggal naik hanya sebanyak 7 kali dan kata al-‘ash atau asar hanya lima kali disebut dalam keseluruhan ayat Al-Qur’an. Konteksnya tentu saja berbeda-beda, namun bisa dipahami jika faktor kuantitas ini pun sejajar dan menyiratkan kualitasnya.
Malam memang lebih bersuasana perenungan, pendalaman dan spiritual. Wajar jika aktivitas seseorang di malam hari akan lebih berkesan tahan lama, berjiwa dan lebih signifikan dalam memberikan warna kepribadian dan jalan hidup seseorang. Lebih-lebih jika aktivitas peribadatan seperti shalat. Janji Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang menghidupkan malamnya dengan shalat tahajud dan amalan nafilah atau sunat lainnya adalah tempat terpuji. Demikian firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al Isra 79. Sahabat MQ, Imam Ghazali membagi waktu malam menjadi sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk shalat dan sepertiga berikutnya untuk amalan wirid sesuai jalan hidup pilihan seseorang. Untuk mereka yang melewati jalan ilmu sepertiga malam sebagai amalan wirid ini diisi dengan kegiatan membaca dan menulis buku. Bagi alim ulama atau pun menyalin dan memahami ilmu yang ditekuni bagi para pelajarnya. Pasti akan berbeda kegiatan orang yang melewati jalur lain, seperti jalan-politik, jalan-dagang, jalan-budaya, jalan-jasa dan sebagainya. Sahabat MQ, sudahkah kita mengisi waktu malam-malam kita dengan beribadah?
Mengetuk Pintu Rumahmu
Munajat Malam Lailatul Qodar |
|
Oleh
KH. Abdullah Gymnastiar
Tak sedikit di antara kita yang mengisi bulan Ramadhan setiap tahunnya dengan lebih banyak bersungguh-sungguh dalam memperindah diri dengan aksesoris dunia dibandingkan dengan meningkatkan amalan-amalan maupun ibadah. Kita diciptakan oleh Allah dengan sempurna, dengan diberikan modal dan potensi yang lebih dibandingkan makhluk lainnya. Sungguh teramat bodoh bagi orang yang punya modal dan modalnya itu dihamburkan sia-sia. Manfaatkanlah modal di antaranya kita dapat bertemu kembali dengan bulan yang suci ini, yang telah Allah berikan kepada kita yaitu bulan Ramadhan. Janganlah sekali-kali kita menghamburkan modal dengan sia-sia, tapi manfaatkanlah modal yang telah kita dapat dengan penuh rasa amanah dan ketaatan di dalam menjalankannya. Saudaraku yang budiman, setelah menikmati indahnya bulan Ramadhan, maka inilah saatnya kita belajar memandang sesuatu agar apapun yang kita pandang menjadi pembuka hati kita. Oleh karena itu perlu kita mengetahui tentang hikmah malam Lailatul Qadar. Sebagaimana dapat kita ketahui dari firman Allah sebagai berikut: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS Al Qadr [97]: 1-5). Banyak penjelasan Rasulullah SAW yang sampai pada kita tentang keutamaan-keutamaan malam yang penuh berkah ini. Sebagai malam yang terbaik dan paling barakah di antara malam yang ada, di dalamnya Allah telah menjanjikan pada hambanya yang ikhlas dan berharap untuk mendapatkan perlindungan-Nya di hari akhir, akan melipatgandakan sampai 1000 bulan untuk amal-amalan kebaikan yang dilakukan pada malam itu. Banyak sekali hadits yang menerangkan bahwa kaum muslim hendaklah mencari Lailatul Qadar di antaranya tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR Bukhari). Untuk menggapai Lailatul Qadar ini, umat Islam dapat melakukan I'tikaf di dalam masjid, menyibukkan diri dengan shalat, dzikir, doa, mengkaji Al Quran dan Sunnah, serta menjauhi segala urusan duniawi. Oleh karena itu alangkah baiknya, mengoptimalkan ibadah kita di 10 malam terakhir dalam bulan yang penuh rahmat ini. Dengan begitu kita kita tidak khawatir akan terlepas dari malam Lailatul Qadar. Namun demikian, tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailatul Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan batinnya, sehingga benar-benar menikmati kedekatan dengan Allah melalui amal ibadah pada malam itu. Orang yang menemui Lailatul Qadar akan berubah kehidupannya menjadi jauh lebih baik. Saudaraku, manfaatkanlah setiap waktu yang Allah berikan kepada kita, di bulan Ramadhan ini, setiap detik dan hembusan napas yang kita gunakan akan diminta pertanggungjawabannya. Jadikanlah setiap detik kita berharga di mata Allah SWT. Detik-detik yang telah kita lewati tidak akan pernah kembali, maka gunakan setiap kesempatan dengan perbuatan yang mulia, di antaranya bermunajat di malam Lailatul Qadar. Wallahu a'lam bish showab |
Menghidupkan Malam
Sahabat MQ, bagi sebagian besar orang malam merupakan waktu untuk tidur dan beristirahat. Mereka telah menarik diri dari pergaulan sosial dan pekerjaannya, lantas masuk ke dalam lapis kehidupan pribadinya yang sedikit banyak bersifat rahasia bagi orang lain. Jika seseorang tidak beristirahat di waktu malam, menandakan demikian pentingnya sesuatu itu atau besarnya tekad yang dipunyai Artinya apapun yang dilakukan seseorang di malam hari akan menegaskan urgensinya ataupun menegaskan “warna dasar” kepribadian orang tersebut, baik warna yang jahat maupun warna baiknya. Sebaliknya seseorang tanpa aktivitas signifikan di malam hari akan hanya biasa-biasa saja alias kehidupannya nyaris tanpa renungan mendalam tanpa sikap yang prinsipil tanpa tekad kuat dan tanpa penegasan warna kepribadiannya.
Sahabat MQ, Al-Qur’an surat Al Muzzammil ayat 6 secara tegas menerangkan kelebihan waktu malam dibandingkan waktu yang lain. Secara kuantitatif, Al-Qur’an memberikan perhatian lebih dengan pemakaian kata al-lail atau malam hari beserta kata turunannya sebanyak 92 kali. Bisa dibandingkan pemakaian kata an-nahar atau siang sebanyak 57 kali pemakaian, kata as-subh berarti subuh sebanyak 45 kali, kata al-fajr yang berarti 24 kali, kata ad-dhuha berarti matahari sepenggal naik hanya sebanyak 7 kali dan kata al-‘ash atau asar hanya lima kali disebut dalam keseluruhan ayat Al-Qur’an. Konteksnya tentu saja berbeda-beda, namun bisa dipahami jika faktor kuantitas ini pun sejajar dan menyiratkan kualitasnya.
Malam memang lebih bersuasana perenungan, pendalaman dan spiritual. Wajar jika aktivitas seseorang di malam hari akan lebih berkesan tahan lama, berjiwa dan lebih signifikan dalam memberikan warna kepribadian dan jalan hidup seseorang. Lebih-lebih jika aktivitas peribadatan seperti shalat. Janji Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang menghidupkan malamnya dengan shalat tahajud dan amalan nafilah atau sunat lainnya adalah tempat terpuji. Demikian firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al Isra 79. Sahabat MQ, Imam Ghazali membagi waktu malam menjadi sepertiga untuk tidur, sepertiga untuk shalat dan sepertiga berikutnya untuk amalan wirid sesuai jalan hidup pilihan seseorang. Untuk mereka yang melewati jalan ilmu sepertiga malam sebagai amalan wirid ini diisi dengan kegiatan membaca dan menulis buku. Bagi alim ulama atau pun menyalin dan memahami ilmu yang ditekuni bagi para pelajarnya. Pasti akan berbeda kegiatan orang yang melewati jalur lain, seperti jalan-politik, jalan-dagang, jalan-budaya, jalan-jasa dan sebagainya. Sahabat MQ, sudahkah kita mengisi waktu malam-malam kita dengan beribadah?
“Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria,
serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan.
Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah
juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana
Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti
juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel.
Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah
sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga
pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat.
Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi
pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke
seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya
ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan
Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang.
Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali”
ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri
sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para
kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya
kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni
nuansa Hindu dan Budha.
Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy
diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad
Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah
Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh
Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan
Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri
(Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama
Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro
diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja,
selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang
memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel)
dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah
di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa
meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai
beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah
yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang,
adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah
berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok
dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan
diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia
pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar
kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam.
Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka
sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik,
Jawa Timur.n
Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah
Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden
Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan
dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah
yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau
Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440,
sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di
Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting
salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban.
Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya
yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan
Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel
turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang
menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit,
untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan
Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia
merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut
menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan
mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para
santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa
dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada
penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh
main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak
berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik,
dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak
dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n
Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul
Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga
yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya
yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama
Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja
(Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana
Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal
mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya
berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan
Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka
dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan
Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia
dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat
pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan-
memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun
berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di
Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri
malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal
tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh
Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan,
se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang
penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang
kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar
Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku,
Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas
dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia
juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian
pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan
ajaran Islam.n
Sunan Bonang (4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik
Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari
seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga
Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi
nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi,
menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus
tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian
masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam
dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat
masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat
Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta,
Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa
itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga
memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban
atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama
Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari
dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan
kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”.
Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang
menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari
100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
(berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga
Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram
dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid
Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa
masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati
secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan
jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan,
grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat
kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah
Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n
Sunan Gunung Jati (6)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan
Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual
seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan
menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu
pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan
lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja
Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14
tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul
berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali
songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya
sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke
pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang
lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga
melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan
sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal
Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya
untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran
Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di
Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati,
sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n
Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan
demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang
bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk
berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi
setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan
padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil
cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun
demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan
Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk
petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian
pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang
suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak
yatim-piatu dan fakir miskin.n
Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung
dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan
Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di
Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga
Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid
mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi
nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi,
menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang
surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian
masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah
tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita
1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Muria (9)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak
Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto.
Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18
kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan
Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam
konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi
yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
6
Rahasia dan Keutamaan Shalat Dhuha
Rahasia dan Keutamaan Shalat Dhuha –
Shalat duha merupakan salah satu diantara shalat-shalat sunah yang sangat
dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Banyak sekali penjelasan hadits yang telah
menyebutkan berbagai keutamaan dan keistimewaan shalat Dhuha bagi siapa saja
yang melaksanakannya. Berikut ini adalah beberapa hadits Rasulullah Muhammad
saw yang menceritakan tentang keutamaan shalat Dhuha, di antaranya:
1. Sedekah bagi seluruh persendian
tubuh manusia
Dari Abu Dzar al-Ghifari ra, ia
berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
“Di setiap sendiri seorang dari kamu
terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap
tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan
lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada
kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan dua
rakaat Dhuha diberi pahala” (HR Muslim).
2. Ghanimah (keuntungan) yang besar
Dari Abdullah bin `Amr bin `Ash
radhiyallahu `anhuma, ia berkata:
Rasulullah saw mengirim sebuah
pasukan perang.
Nabi saw berkata: “Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali!”.
Nabi saw berkata: “Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali!”.
Mereka akhirnya saling berbicara
tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan)
yang akan diperoleh dan cepat kembali (karena dekat jaraknya).
Lalu Rasulullah saw berkata; “Maukah
kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan
diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan) nya dan cepat kembalinya?”
Mereka menjawab; “Ya!
Rasul saw berkata lagi:
“Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat Dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.” (Shahih al-Targhib: 666)
“Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat Dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.” (Shahih al-Targhib: 666)
3. Sebuah rumah di surga
Bagi yang rajin mengerjakan shalat
Dhuha, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam surga. Hal ini dijelaskan
dalam sebuah hadits Nabi Muahammad saw:
“Barangsiapa yang shalat Dhuha
sebanyak empat rakaat dan empat rakaat sebelumnya, maka ia akan dibangunkan
sebuah rumah di surga.” (Shahih
al-Jami`: 634)
4. Memeroleh ganjaran di sore hari
Dari Abu Darda’ ra, ia berkata bahwa
Rasulullah saw berkata:
Allah ta`ala berkata: “Wahai anak
Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi
kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya” (Shahih al-Jami: 4339).
Dalam sebuah riwayat juga
disebutkan: “Innallaa `azza wa jalla yaqulu: Yabna adama akfnini awwala
al-nahar bi’arba`i raka`at ukfika bihinna akhira yaumika”
(Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla
berkata: “Wahai anak Adam, cukuplah bagi-Ku empat rakaat di awal hari, maka aku
akan mencukupimu di sore harimu”).
5. Pahala Umrah
Dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah
saw bersabda:
“Barang siapa yang keluar dari
rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya
seperti seorang yang melaksanakan haji. Barang siapa yang keluar untuk melaksanakan
shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan `umrah…” (Shahih al-Targhib: 673).
Dalam sebuah hadits yang lain
disebutkan bahwa Nabi saw bersabda:
“Barang siapa yang mengerjakan
shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat
Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan
pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna..” (Shahih al-Jami`: 6346).
6. Ampunan Dosa
“Siapa pun yang melaksanakan shalat
dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu
sebanyak buih di lautan.” (HR
Tirmidzi).
Semoga sedikit kutipan mengenai
Rahasia dan Keutamaan Shalat Dhuha ini bisa membuat kita lebih giat lagi dalam
menjalankan shalat dhuha, dan bagi yang belum melaksanakannya bisa memulai
untuk menjalankannya… Aamiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar